Total Pageviews

Thursday, June 22, 2006

Perda Harus Mengacu Konstitusi

Munculnya berbagai peraturan daerah (perda) bernuansa agama, meresahkan dan sangat berpotensial menyulut konflik di masyarakat. Harus ada keberanian moral, politik, dan ketegasan pemerintah untuk melakukan pengaturan, sebelum bangsa ini benar-benar kehilangan identitasnya.
"Keberanian dan kemauan melihat masalah secara mendalam, yang kurang di Indonesia," kata anggota Komisi I DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) AS Hikam kepada Pembaruan, Selasa (20/6). Dia menegaskan, harus ada peninjauan kembali terhadap perda-perda bernuansa agama.
Menurutnya butuh pemahaman mengenai otonomi daerah, tentang apa yang menjadi kewenangan daerah. Masalah apa yang seharusnya diurus oleh daerah, dan mana yang tetap menjadi kewenangan pusat, karena menyangkut kepentingan nasional. Dia mengingatkan, masalah kemajemukan merupakan satu hal penting dalam pembentukan negara ini.
"Upaya uniformitas akan mencederai identitas bangsa ini sendiri," ujarnya. Dia juga mengkritik keras dalih para pendukung keberadaan perda bernuansa agama, yang menyebut pembuatan perda-perda itu berdasarkan kesepakatan mayoritas masyarakat di daerah.
Dia menyebut setiap peraturan perundangan harus mengacu pada konstitusi, tidak bisa sembarangan membuat peraturan. "Kalau semua berdasarkan kesepakatan komunitas, negara ini jadi seperti apa. Kalau ada komunitas yang sepakat orang Jawa tidak boleh masuk daerahnya, anda mau apa," tandasnya.
Hikam menegaskan, perda harus dikembalikan sesuai fungsi utamanya, membuat pengaturan yang berdasarkan ciri khas daerah itu sendiri. Tapi masalah agama menyangkut kepentingan bersama, sehingga pengaturannya harus sejalan dengan kepentingan nasional.
"Sejak awal saya sudah ingatkan, masalah perda syariat harus didasari konstitusi. Kalau ada dasar hukumnya, seperti Aceh, sudah jelas. Tapi di luar Aceh, saya tidak setuju. Tapi di Aceh pun, saya tidak setuju ada hukum cambuk. Hal-hal pidana seharusnya tetap mengacu pada hukum nasional. Sementara syariat, hanya menyangkut hukum pribadi, seperti soal warisan, pernikahan," katanya.
Menurutnya masalah perda telah diatur secara tegas oleh undang-undang. Bila tidak sejalan dengan konstitusi, Depdagri bisa mencabutnya.
"Depdagri sebetulnya ngerti atau ngga, karena dia punya otoritas untuk atur hal-hal itu. Kalau tidak tegas, akan muncul terus, merangsang orang membuat aturan-aturan tidak konstitusional lagi," ucapnya.
Secara tegas, Nursyahbani Katjasungkana, anggota Komisi III DPR dari FKB, juga menyebut perda bernuansa agama tidak sesuai dengan konstitusi. Para pendukung keberadaan perda bernuansa agama sendiri, berdalih tidak ada perda syariat Islam kecuali di Aceh. "Memangnya ada Perda syariat Islam. Kalau perda yang mengatur untuk siswa sekolah wajib bisa membaca Al-Quran, apa yang salah. Itu bagus kan," kata Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN).
Senada itu juga dikatakan Ferry Mursyidan Baldan, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG). Dia juga mempertanyakan apakah ada perda yang disebut bernuansa agama.
Beragam dalih dibuat untuk perda-perda yang terindikasi bernuansa agama, misal perda anti pelacuran, yang disebut bukan berdasarkan agama tertentu, melainkan merupakan larangan yang dimuat semua agama. Tapi hal itu dijawab Nursyahbani, bahwa tidak boleh perda mengatur hukum pidana.
Demikian juga masalah pelacuran, perjudian, minuman keras, pornografi, merupakan masalah yang tidak terjadi secara khusus di daerah tertentu saja. "Masalah pelacuran tidak cuma terjadi di satu daerah, di tempat lain juga terjadi masalah pelacuran," katanya. Oleh karena itu pengaturannya menjadi kewenangan pusat, yang juga telah termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Depdagri Terus Inventarisasi
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terus menginventarisir peraturan daerah (perda) bermasalah. Tetapi tidak semua perda yang diinventarisir itu dilakukan Depdagri. Pemerintah Daerah Provinsi juga diberi kesempatan untuk menginventarisir perda bermasalah di daerahnya masing-masing.
"Sampai sekarang mereka masih melakukan inventarisasi. Dan jangan lupa ya, tidak semua saya menanganinya. Ada struktur organisasi, bagaimanapun gubernur adalah representasi pemerintah. Kita beri kesempatan, gubernur juga harus diberi peran untuk mengevaluasi perda-perda yang ada di wilayahnya," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mohammad Ma'ruf di kantornya, Jakarta, Senin (19/6).
Pedoman umum dalam mengevaluasi perda bermasalah adalah perda itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang di atasnya serta tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Terkait permintaan DPR untuk segera mengkaji perda bermasalah, Mendagri menegaskan, persoalannya, bukan soal sikap Mendagri. "Kita sudah melakukan langkah-langkah inventarisasi. Kan tidak bisa serta-merta langsung bisa dijawab. Kita harus cek dulu, kayak apa sih perda-perda yang seperti itu, kita akan evaluasi semuanya," ujarnya.

No comments:

Pencapaian Terbaik Manusia !

Pencapaian terbesar hidup manusia adalah ketika nafas hidupnya di dunia ini selesai… dan yang terbaik adalah ketika ia kembali kepangkuan Sa...