Total Pageviews

Friday, May 05, 2006

Hindari Eksklusivisme Agama

From Glorianet,
Agama-agama hendaknya lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pembawa solusi dan bukannya menjadi bagian dari konflik atau masalah bangsa dan negara. Agama juga diharapkan berperan dalam menyelamatkan dan membangun proyek "rumah" Indonesia secara utuh yang belum selesai.
Untuk menyelamatkan dan membangun "rumah" Indonesia, pendekatan ideologis dengan semangat menutup diri terhadap agama atau kelompok masyarakat lainnya, harus dihindari. Sebaliknya, yang diharapkan adalah inklusivisme, yakni mau membuka diri terhadap agama dan kelompok yang lain.
Hal itu dikemukakan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komarudin Hidayat dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Sebuah Minoritas yang Percaya Diri di kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Selasa (2/5). Selain Komaruddin, hadir dalam bedah buku tersebut adalah Romo Dr Eddy Kristiyanto OFM (ahli sejarah gereja dari STF Jakarta), Pdt Dr Jan S Aritonang (ahli sejarah gereja dari STT Jakarta) dan penulis buku itu, Prof Dr Karel Steenbrink dari Fakultas Teologi Universitas Utrecht, Belanda.
Komarudin Hidayat mengingatkan, eksklusivisme agama akan sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, ketika negara sebagai sebuah state gagal, masyarakat akan mencari etno baru dan salah satunya adalah agama.
Celakanya, ketika orang mulai masuk dalam eksklusivisme agama, yang menonjol adalah emosi, lalu melihat segala sesuatu menjadi hitam-putih, sehingga yang tidak sewarna dipandang sebagai musuh. Itu sebabnya, bangsa sulit terbangun menjadi sebuah rumah yang menjadi tempat bernaung bagi semua, jika dikelola oleh mereka yang tergolong ideolog.
Fenomena yang terjadi sekarang, kata Komarudin, ada sejumlah pemimpin yang menggunakan simbol agama sebagai alat memancing emosi semata, tetapi kehidupannya sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai sejati dari agama tersebut. Padahal, sekali membawa agama ke dalam urusan pemerintahan, akan sangat sulit menariknya kembali.
Membuka Diri
Tokoh nasional, Frans Seda yang hadir dalam peluncuran buku yang diterbitkan Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur ini, pada kesempatan pertama juga telah melontarkan pentingnya inklusivisme beragama tersebut. Frans Seda menyebutkan, salah satu kiat agama Katolik bisa diterima dalam masyarakat di Indonesia sejak prakemerdekaan adalah sikap inklusif.
Dikatakan, inklusivisme orang-orang Katolik itu ditunjukkan melalui perannya dalam masyarakat, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan yang diperuntukkan bagi semua orang tanpa melihat perbedaan dan bukan untuk orang Katolik semata. Menurutnya, orang-orang Katolik selalu membuka diri terhadap kelompok masyarakat lainnya dari agama yang berbeda dengan pendekatan emansipatif dan integrasi.
Di sisi lain, Frans Seda juga menyatakan orang-orang Katolik di Indonesia meskipun termasuk golongan kecil, tetapi selalu percaya diri. Tokoh asal Flores itu mengaku tidak setuju dengan dikotomi minoritas dan mayoritas. Alasannya, peran dalam perjuangan dan membangun bangsa itu sama, tidak mengenal mayoritas-minoritas.
Buku yang ditulis Karel Steenbrink terdiri dari 1.500 halaman banyak dipuji para pembicara yang membedah buku tersebut. Pdt Dr Jan S Aritonang misalnya, menilai buku tersebut sangat bermutu, karena tidak hanya menyajikan kehidupan orang-orang Katolik semata, tetapi juga tentang pertemuannya dengan agama-agama lainnya, baik Islam, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha serta agama-agama asli Nusantara.
Secara khusus, Jan Aritonang juga menyatakan kekagumannya terhadap orang-orang Katolik yang bisa tampil inklusif dengan sejumlah organisasi sosial maupun organisasi politik, serta kemampuan Gereja Katolik mengelola konflik internal hingga keutuhannya tetap terjaga. "Kami orang-orang Protestan harus banyak belajar dari Katolik. Buku tersebut juga secara jujur menyajikan fakta sejarah bahwa orang-orang Katolik di Flores justru lebih banyak belajar dari para saudagar Islam soal perdagangan dan ekonomi," ujarnya.
Secara khusus, Romo Eddy Kristiyanto juga menilai karya Karel Steenbrink tersebut sangat bagus untuk direfleksikan kembali bagi kalangan Katolik sendiri. Dalam buku tersebut disajikan bagaimana peran kaum awam Katolik justru sangat besar dalam periode 1808 hingga 1942.
Dia menyatakan kecewa dengan kondisi sekarang karena urusan Katolik lebih didominasi kaum klerus (berjubah) dan dilakukan dari atas ke bawah. Dia berharap ke depan, para petinggi Gereja Katolik di Indonesia bisa merenungkan kembali untuk memberi peran yang besar bagi kaum awam sehingga gereja tumbuh dari bawah ke atas.
Karel Steenbrink sendiri bukanlah orang baru di Indonesia. Dosen Universitas Utrecht, Belanda tersebut sejak tahun 1970 sudah masuk ke Indonesia, bahkan pernah menjadi dosen tamu di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang menjadi UIN Ciputat Jakarta 1981-1988. Dia juga pernah menulis soal pesantren di Indonesia.

No comments:

Pencapaian Terbaik Manusia !

Pencapaian terbesar hidup manusia adalah ketika nafas hidupnya di dunia ini selesai… dan yang terbaik adalah ketika ia kembali kepangkuan Sa...