Total Pageviews

Saturday, April 29, 2006

Bangsa yang Kerasukan

By Ashadi Siregar
Berturutan stasiun-stasiun televisi menampilkan berita tentang remaja siswa sekolah atau buruh pabrik (umumnya perempuan) yang meronta-ronta, menangis, menceracau, mata melotot, dan berbagai tingkah tanpa kendali. Peristiwa itu tersebar di berbagai daerah Indonesia. Media menyebutnya "kerasukan" atau "kesurupan". Jika tingkah-laku yang ternampak itu disebut kerasukan, boleh dibilang bangsa ini juga sama halnya. Banyak tindakan seperti tanpa kendali. Apakah bukan kerasukan namanya jika segerombolan penduduk tega mengeroyok, bahkan sampai membakar tubuh manusia yang kebetulan dituduh sebagai maling ayam? Orang-orang yang tega membakar rumah tetangganya, hanya karena dianggap menganut ajaran dari tafsir yang berbeda atas agama yang sama.Polisi yang menyerbu ke kampus mengejar-mengejar mahasiswa sembari menghancurkan perabotan dan kaca-kaca jendela. Demonstran yang melemparkan bongkah batu sebesar semangka ke kepala petugas yang sudah terkapar. Rombongan yang menjerit-jerit menyebut nama Tuhan sembari menghancurkan tempat usaha dan properti warga lainnya. Keroyokan, tawuran antarkelompok atau perang antarkampung, merebak di mana-mana.Kerasukan atau tidak, banyak tindakan di luar normal terjadi di depan mata. Tindakan sebagai bagian dari ritus seperti mengunyah beling atau menusuk-nusuk pipi sendiri --biasa disebut trance-- adalah kerasukan yang memang diniati. Tapi bagaimana dengan korban SUTET-nya PLN yang mogok makan sembari menjahit mulutnya? Atau perempuan pedagang kecil yang menjerit-jerit saat digusur Tramtib? Di kala normal, tak mungkin ibu itu sanggup membuka kainnya di muka umum mempertontonkan aurat yang paling disucikan.Perbedaan tingkah yang disebut kerasukan dengan tindakan lainnya sebenarnya hanya dari penyebabnya. Tindakan di luar kendali, yang bersifat agresif dan barbar, tidak disebut kerasukan, sebab mendapat pembenaran atas nama komunalisme bersifat pragmatis maupun kemuliaan agama. Sikap "pokoknya..." atas kebenaran subyektif menjadi dasar untuk "kerasukan". Sedang tindakan lainnya, diakibatkan intimidasi, dipandang hanya sebagai kekalapan. Yang tidak jelas penyebabnya disebut kerasukan roh atau makhluk halus. Untuk melawan roh pengrasuk atau penyurup harus turun tangan ulama dengan doanya, atau paranormal dengan mantera dan sesajinya. *** KAMBING hitam roh, arwah, atau setan, atau faktor non-empiris dalam nalar sebab-akibat, mendominasi banyak program hiburan di televisi. Pada satu sisi, hantu sebagai tokoh cerita, atau plot cerita mistisisme dan kematian yang berbalas atau kisah seputar mayat (necromancy) menjadi komoditas bagi semua stasiun televisi komersial belakangan ini. Pada sisi lain, peran roh dan sebangsanya telah pula menjadi sumber nilai religiusitas bagi para ulama yang menjadi pendukung program hiburan tersebut.Logika sebab-akibat non-empiris ini sebenarnya bukan hanya dimonopoli dunia hiburan. Disadari atau tidak, jurnalis yang berurusan dengan fakta juga bersikap sama. Karenanya terbaca teras berita berbunyi: "Entah setan mana yang merasukinya sehingga seorang kakek tega mencabuli bocah bongsor Mawar (bukan nama sebenarnya)?" Jadi, si kakek hanya sarana bagi setan. Dalam kaidah jurnalisme, berita harus seimbang dengan prinsip cek (pada satu pihak) dan ricek (pada pihak lainnya). Jurnalis tentunya tidak mungkin minta konfirmasi kepada si setan yang punya libido.Media jurnalisme diharapkan menampung fakta sosial, lalu menyampaikannya sebagai berita jurnalisme. Agaknya istilah berita di sini perlu diberi huruf kapital, untuk membedakan dengan berita hiburan atau infotainment. Dalam jurnalisme, hiburan hanya untuk human interest story (kisah kemanusiaan). Fungsi berita bukan untuk menghibur, tetapi menjadikan publik dekat ke realitas sosial. Di sini media jurnalisme sebagai zona bebas yang digerakkan dengan rasionalitas bukan dengan takhayul (irasionalitas), rasionalitas dalam menghadapi realitas di satu sisi dan di sisi lain intensi untuk menjaga rasionalitas khalayak.Rasionalitas hanya dapat dipunyai secara otentik dan personal. Ini ditempuh dengan pembebasan (liberation), yaitu kebebasan dari (freedom from) kekuasaan yang membelenggu individu, dan kebebasan untuk (freedom for) berpikir. Tindakan sebagai wujud interaksi sosial bertolak dari rasionalitas manusia bebas. Sebaliknya komunalisme yang sudah pada tingkat merasuk, melahirkan manusia tanpa kesadaran personal. Manusia yang digerakkan oleh kekuasaan komunal bersifat eksternal hanya menjadi otomaton, tindakan tidak memerlukan pertimbangan rasional.Seluruh upaya peradaban pada dasarnya membangun manusia secara personal, lewat pendidikan yang memroses manusia dalam rasionalitas atas tiga dimensi: kebenaran dan kepalsuan, estetika dan keburukan, serta kesusilaan dan kedursilaan. Kemampuan rasionalitas ini menjadi dasar dalam interaksi sosial. Karenanya kolektivitas warga masyarakat merupakan kehidupan ambil bagian (sharing) di antara individu rasional, dengan acuan nilai bersama (shared values). ***REFORMASI agaknya sudah padam. Boleh dibilang tak ada lagi gaung untuk membangun civil society yang ditandai melalui dua sisi, pertama berkurangnya peran negara dalam memerintah (government) dengan penggunaan kekuasaan (power), dan semakin besar peran mengurus (governance) melalui pelayanan publik (public services) bagi warga. Kedua, membesarnya peran institusi masyarakat dalam dinamika politik, dan semakin banyak warga masuk ke dalam institusi negara. Dengan begitu birokrasi negara lebih berperan dalam operasi pelayanan publik, dan institusi negara digerakkan pejabat temporer dari masyarakat yang mengeluarkan hukum dan kebijakan publik untuk kepentingan pragmatis warga. Ini yang membedakan dengan negara dan birokrasi Orde Baru yang digerakkan oleh pegawai negeri dan militer.Secara ideal, hukum dan kebijakan publik dari institusi negara, dan etika sosial dari institusi sosial, masing-masing menjadi sumber norma bagi warga dalam tertib sosial (social order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidak diperlukan campur tangan negara. Sebaliknya, banyaknya konflik di antara warga yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat, tetapi harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam civil society.Kondisi proses sosial yang gagal ini diperparah pula manakala negara yang digerakkan pejabat temporer semakin menonjol dalam mengeluarkan hukum dan kebijakan negara yang berkonteks pada moral sosial. Institusi negara akhirnya lebih berperan sebagai pengawas moral (termasuk seksual). Alih-alih menjalankan fungsi utama dengan meningkatkan kebijakan untuk pelayanan publik, enerji lebih banyak dipusatkan untuk mengurus pornografi dan pornoaksi melalui undang-undang (nasional) dan peraturan daerah di berbagai kota/kabupaten. ***BOLEH jadi moral warga masyarakat sekarang bertambah lemah dibanding masa lalu. Kendati tampilan religiusitas melalui ciri fisik semakin luas, di balik itu ternyata laki-laki masa kini lebih mudah terbangkit birahinya akibat rangsangan eksternal dibanding laki-laki pada masa setengah atau seperempat abad yang lalu. Sehingga dipandang perlu ada undang-undang yang mengatur perilaku pihak yang potensial sebagai pemicu birahi. Di satu sisi masyarakat mengalami kesurutan (withdrawal) di tengah arus besar teknologi dan media massa komersial, di sisi lain gampang "dirasuki" roh, klaim kebenaran agama yang eksklusif, dan kebenaran pragmatis yang diabsolutkan.Soal "sesuatu" yang merasuki bangsa ini hanya dapat dipahami dari "kekosongan" yang berlangsung pasca-Orba. Tertib sosial Orba ditegakkan melalui kekuasaaan yang mengikat warga, melalui penataran dan tindakan aparatus negara, baik secara terbuka maupun gelap (hidden), bukan karena acuan nilai bersama warga masyarakat. Runtuhnya kekuasaan negara Orba menyisakan ruang publik yang mengalami anomie, dan menjadi ajang rebutan berbagai institusi sosial. Sejumlah organisasi agama, yang sebelumnya ditekan dan menjadi sasaran intelijen Orba, mengambil peluang yang terbuka lebar. Perebutan dominasi moral dilakukan dengan berbagai metode, secara formal melalui hukum dan kebijakan negara, dan secara informal dengan penetrasi ke berbagai lembaga pendidikan maupun kekerasan di ruang publik.Dari kerangka pemikiran ini agaknya para guru dan orangtua yang dibingungkan dengan anak-anaknya yang kerasukan "roh" perlu mencari jawaban rasional. Bukan surut ke masa lalu dengan mantera dan sesaji, tetapi dengan pendekatan akademik, yaitu meneliti pengalaman-pengalaman anak didik setidak-tidaknya setengah atau setahun ke belakang, untuk mendeteksi pola-pola yang sama. Baru dari sini diberikan treatment psikologis atau psikiatris guna memulihkan kekisruhan personalitas.Berbagai kegiatan ekskul (ekstra kurikuler), yang belakangan ini sering masuk ke lingkungan sekolah dengan penyelenggaranya bukan guru sekolah sendiri, dideteksi menggunakan metode brainwashing yang menanamkan komunalisme. Brainwashing semacam ini perlu dipertanyakan relevansinya bagi anak didik yang sesungguhnya perlu mengembangkan personalitas dan kreativitas individualnya. Begitu pula terhadap buruh-buruh perempuan di pabrik, atau dalam skala besar bangsa ini pun perlu membangun rasionalitas dalam menghadapi tekanan brainwashing untuk komunalisme yang datang dari berbagai sumber.

No comments:

Pencapaian Terbaik Manusia !

Pencapaian terbesar hidup manusia adalah ketika nafas hidupnya di dunia ini selesai… dan yang terbaik adalah ketika ia kembali kepangkuan Sa...