Total Pageviews

Sunday, April 16, 2006

Radikalisme Agama di Indonesia, Sebuah Bom Waktu

From Narwastu,

Hingga kini radikalisme di tengah agama-agama terus berlanjut. Teror berupa pembakaran, perusakan, pembongkaran rumah ibadah seperti masjid dan gereja kerap terjadi. Aksi radikal atas nama agama itu kembali terjadi. Pada 15 Juli 2005 lalu, warga Parung, Bogor, Jawa Barat, dihebohkan oleh aksi yang membubarkan kegiatan tahunan Jamaah Ahmadiyah di Kampus Mubarok, Bogor. Ribuan massa dengan atribut-atribut agama melempari, merusak bahkan membakar kampus tersebut. Ahmadiyah diklaim sebagai aliran sesat.Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sejak 1983-2005 telah terjadi 21 kasus yang berkaitan dengan radikalisme agama.
Mengapa radikalisme agama bisa terjadi? Mengapa agama dijadikan kendaraan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hakiki dari agama itu sendiri? Menurut Horace M. Kallen (1972), radikalisme ditandai tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons ini muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan perlawanan. Masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap kelangsungan keadaan yang ditolak. Kedua, radikalisme tak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan dalam radikalisme terkandung pandangan tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat menjadikan tatanan tersebut ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan kuat akan kebenaran program atau ideologi yang dibawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang dianggap benar dengan sikap yang menjurus pada kekerasan. Keyakinan ini bisa bersumber dari pemahaman teks agama. Menanggapi mencuatnya radikalisme agama di Indonesia, pengamat politik, Dr. Chusnul Mariyah, berkomentar, berbagai macam terminologi yang serupa dengan radikalisme agama, seperti fundamentalis, radikalis dan fanatisme, semuanya itu bermuara pada apa yang disebut terorisme. "Sebenarnya kalau dilihat dari perkembangan agama-agama di dunia, sebetulnya semua agama punya spektrum itu, tak hanya di Islam. Tapi yang penting, kita harus mendefenisikan dulu yang mana radikalisme. Fanatisme itu biasanya lebih sempit, kalau fundamentalisme saya tak terlalu setuju jika diartikan radikal, dan menjadi terorisme. Sebab, fundamentalis itu kembali lagi pada fundamen dari masing-masing agama," ujar anggota KPU Pusat dan dosen UI, Jakarta, itu ketika ditemui NARWASTU Pembaruan, beberapa waktu lalu.
Chusnul menambahkan, salah satu faktor yang memunculkan terjadinya radikalisme agama, yaitu pamahaman agama hanya sebatas simbol. Yang akhirnya justru men-Tuhan-kan simbol itu sendiri. Sementara esensi dari agama itu seperti berserah diri, tabah dan membangun hubungan antarmanusia secara damai, justru tak tampak di permukaan. "Kalau di Islam ada damai, di Kristen ada kasih sayang, kan gitu. Jadi bagaimana kita menyikapi, dilihatnya bukan pada level ajaran Islamnya atau Kristennya, tapi bagaimana ajaran itu diimplementasikan, itupun sudah masuk di level manusianya. Nah, di sini letaknya kenapa kita mesti tak boleh menyalahkan agama, tapi kita harus melihat lagi bagaimana kita melaksanakan ajaran-ajaran agama tadi," tegasnya.
Meski demikian, dalam perkembangannya, ia melihat, untuk mewujudkan hal itu bukan sesuatu yang mudah. Sebab, yang muncul adalah ketidakadilan yang jadi persoalan agama, dan akhirnya bersinggungan dengan politik. Maka mau tak mau, dalam kehidupan politik di Indonesia, wajah politik agama pun muncul dalam politik. "Nah, di ranah situ sebetulnya yang cukup rawan adalah pertentangan terjadi. Karena, ideologi itu sudah masuk dalam kehidupan politik. Tapi, kalau di ranah humanisme, biasanya tak terlalu kuat. Tapi, munculnya politik humanisme dan hubungan itu adalah ketidakadilan, baik ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum, yang sebetulnya dialami oleh umat agama," papar Chusnul.
Ada Kebangkitan Agama-agama
Hal senada diungkapkan H. Djohan Effendi, MA, Ketua Umum ICRP. Djohan beranggapan, adanya kebangkitan agama-agama, terutama agama besar dalam menyebarkan ajarannya, tak ayal sering memunculkan fanatisme berlebihan. Dulu, kata Djohan, ketika ajaran agama kita masih tradisional di masyarakat sangat biasa kehidupan multiagama. Tapi, kemudian dalam perkembangannya, ada agama atau orang ingin menonjolkan identitasnya, termasuk identitas agamanya. Hal ini yang menciptakan batas-batas.
"Kita lihat kebangkitan agama-agama, misalnya stiker di mobil-mobil. Bagi kalangan ekstrim ini menjadi masalah. Saya sering katakan, ini hasil dari pengajaran bapak-bapak kepada generasi muda dalam hal pemahaman agama, sehingga terjadi radikalisme agama. Orang lebih diajarkan pada pengentalan identitas, tapi tak menekankan bagaimana menghormati orang lain. Lalu, saling mengklaim kebenaran secara mutlak," tegasnya.
Sebab itu, Djohan mengharapkan agar para agamawan menyadari dan saling memahami problem dari tiap-tiap umat. Hal inilah yang tampaknya kurang disadari. Klaim-klaim kebenaran mutlak sering digaungkan di khotbah-khotbah. "Nah, ini akan bertambah berat jika pemerintah tak belajar dari masa lalu ketika kasus Ambon, dan Poso masih kecil, tak cepat diselesaikan. Apa yang terjadi di Parung tak menutup kemungkinan akan terjadi di tempat lain. Saya kira juga hukum tak berfungsi. Kuncinya, kita semua harus menerima kehadiran orang lain sebagai saudara," jelas Djohan.
Radikalisme agama memang bukan persoalan yang mudah diselesaikan. Keseriusan pemerintah untuk menangani masalah seperti ini pun dituntut. Biasanya aksi-aksi massa yang mengatasnamakan agama tertentu yang sejatinya memberangus kemerdekaan berkeyakinan, ditangkap oleh aparat negara sebagai suara mayoritas. Namun terkadang, aparat negara tak kuasa mencegah aksi-aksi massa yang lebih besar kepada kelompok massa yang kecil. Bahkan, kadang aparat negara ikut melakukan kekerasan, atau setidaknya membiarkan aksi anarkis tersebut.
Satu hal yang perlu jadi perenungan bersama, apa yang diungkapkan oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. A.A. Yewangoe. Ia menegaskan, masyarakat Indonesia amat membutuhkan pendidikan dalam arti yang luas. Bukan sekadar di sekolah, tapi pendidikan sosial, keagamaan dan pendidikan untuk menjadikan masyarakat lebih dewasa, sehingga mampu hidup bersama di masyarakat yang beraneka ragam. Juga pendidikan di rumah tangga. Di samping itu, pemerintah harus mampu menegakkan hukum. Semua itu harus dijalankan lembaga dan tokoh-tokoh agama, baik melalui khotbah-khotbah, bagaimana dia mengarahkan umat. Semuanya itu tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

No comments:

Pencapaian Terbaik Manusia !

Pencapaian terbesar hidup manusia adalah ketika nafas hidupnya di dunia ini selesai… dan yang terbaik adalah ketika ia kembali kepangkuan Sa...